Tuesday, January 10, 2012

Berhenti menggunakan kata "AUTIS" dalam bercanda bahkan membully!

Sebelum menggunakan kata "AUTIS" dalam bercanda, ada baiknya kita harus tahu dulu apa AUTIS itu sebenarnya. Setelah tahu, hendaknya kita berfikir, apa pantas kata tersebut dijadikan bahan untuk mengejek atau sekedar bercanda dengan teman?
Tidak hanya kata autis, kata cacat juga sebenarnya tidak pantas untuk dijadikan bahan ejekan.

Pernah gak kita membayangkan… sebentarrrrr saja… menjadi orangtua dari anak autistik? Apa itu semudah kalian melontarkan kata autis tersebut untuk bercanda?


Ada banyak sekali artikel yang menceritakan kisah orangtua yang memiliki seorang anak autis, dimana terdapat pengakuan seorang ibu yang memiliki anak autis, suka duka merawat anak autis, dan pengakuan lainnya yang membuat terharu. Tentu kita bisa ngerti gimana perasaan ibu tersebut saat mendengar orang-orang bercanda dengan menyebutkan kata-kata “autis”.Miris pastinya. Seandainya bisa memilih, tentu Ibu itu tidak akan meminta anak yang dilahirkannya untuk mengidap autis. Tapi cinta ibu memang luar biasa, apapun kondisi anaknya, cinta yang diberikannya tak akan tergantikan.
baca artikelnya disini http://www.newsilly.com/2011/09/18/kenapa-sih-gak-boleh-becanda-pakai-kata-autis-lu/


Setelah membaca artikel tersebut, kalian yang bisa menilai sendiri.
 Apakah layak menggunakan istilah autis buat lucu-lucuan ?
Apakah serendah itu arti kata autis di mata mereka ? sehingga istilah itu disamakan dgn
istilah2 yg tdk pantas bahkan makian ?
Apakah layak istilah autis dipakai utk menggambarkan perilaku2 yg dipersepsikan sebagai
perilaku negatif dari seseorang ?

Tuesday, January 3, 2012

Orang tua over protektif, anak menjadi korban bullying

Siapa bilang orangtua terlalu protektif itu menjamin anaknya pasti menjadi baik?
Orang tua yang terlalu protektif, justru menjadikan anak sebagi korban bullying. Anak harus diajari untuk berani melawan siapa yang melakukan kekerasan terhadapnya.

Peneliti dalam bidang perilaku manusia dari Amerika Serikat (AS), Dr John Demartini mengatakan bahwa orangtua dari anak korban bully harus berhenti mengendalikan anak-anaknya dan mulai membiakan mereka mengontrol sendiri kehidupannya. "Seorang anak yang mengalami kekerasan merupakan hasil support yang berlebihan dari orang tuanya," kata Demartini yang dilansir news.com.au, Minggu (20/11/2011)
"Anda harus mengajarkan anak dengan kehidupan nyata. Jika Anda mengajarkan mereka dalam sebuah dunia khayalan dimana mereka diharuskan untuk bersikap baik dan bergaul, mereka tidak akan menghargai bagaimana kehidupan sebenarnya," imbuhnya.

Demartini juga menganjurkan untuk melawan balik tindak kekerasan itu. Para pelaku bullying, jelas dia, tidak akan menyerang anak yang bisa memberikan perlawanan balik.  "Jika anak-anak yang senang pergi keluar dan belajar seni bela diri, belajar bagaimana menjadi cerdas dan memiliki banyak teman, maka mereka tidak akan menjadi korban bully," katanya.

Sebaliknya, ahli anti-kekerasan dari Australia, Dr Ken Rigby, mengatakan bahwa membalas dengan kekerasan bukanlah sebuah jawaban. "Melawan bukanlah suatu hal yang beralasan, konsultan pendidikan akan mengatakan bahwa hal itu sebagai hal yang berurusan dengan kekerasan," kata Rigby.

Rigby berpendapat, orang yang menganggap hukuman fisik itu efektif itu sangat kuno. Ada cukup bukti yang dapat menunjukkan bahwa hukuman fisik itu tidak efektif untuk membuat anak bersikap lebih baik.

"Untuk menjadikannya orang yang baik, Anda sendiri harus menjadi orang yang kuat untuk bertahan hidup di dunia ini," jelas Rigby.

Sementara Dr Susan Colmar dari Universitas Sydney, mengatakan bahwa anak-anak bukanlah korban bully karena anak-anak memiliki tipe-tipe tertentu. "Beberapa anak pendiam dan sangat sensitif, yang bukan berarti mereka adalah korban" katanya.